Foto:
. ©2013 yuuhu.info
Reporter: Rudi
Yuuhu.info, Keikutsertaan Indonesia sebagai anggota Organisasi Perdagangan Dunia
(WTO) sejak 1994 silam, dianggap lebih banyak merugikan negeri ini.
Meski secara kuantitatif buktinya tak dapat ditunjukkan, namun secara
materiil terlihat jelas.
Masyarakat Indonesia banyak kehilangan kesempatan kerja, sehingga negeri ini dipaksa untuk mengekspor barang mentah ke luar negeri. Akibatnya, perusahaan nasional bangkrut dan merumahkan sebagian besar pekerjaannya.
Demikian disampaikan Executive Director Indonesia for Global Justice (IGJ) M. Riza Damanik dalam rangka menyambut Konferensi Tingkat Menteri WTO ke-9 di Bali, Desember mendatang.
"Masyarakat, petani dan UMKM akan kehilangan pasar yang berkeadilan," ujar Riza di kantornya, Jakarta, Jumat (10/5).
Oleh karena itu, gagalnya Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu dalam seleksi calon Direktur Jenderal (Dirjen) WTO akhir bulan lalu dapat dimanfaatkan sebagai momen untuk segera menjauh dari organisasi perdagangan dunia itu. Tampil di depan dengan mengusung ekonomi alternatif jauh akan lebih menguntungkan Indonesia dibanding mengikuti standar WTO.
Menurut Riza, keluar dari WTO akan berimplikasi positif bagi tumbuhnya ekonomi domestik. Pasalnya, Indonesia dapat menentukan kebijakan sendiri tanpa bayang-bayang dari WTO yang dikenal dengan tiga perjanjian besar mengikat berkaitan dengan barang, jasa dan Hak Kekayaan Ilmiah.
Di sektor barang, WTO mengharuskan untuk menghapuskan segala tarif atau non tarif untuk barang impor. Dari sektor jasa, lebih kepada market akses. Dia tidak berbicara tarif, namun lebih kepada tidak ada pembatasan dalam 4 karakter berikut, jasa perpindahan barang, wisatawan, perusahaan jasa dan tenaga kerja.
Kemudian dari sektor perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI), WTO dengan dalih standar tinggi membuat banyak hasil temuan ilmiah tidak dapat dengan serta merta dinikmati masyarakat secara mudah dan murah. Bahkan untuk mendapatkan hasil dari sebuah temuan harus membayar dengan harga mahal, seperti obat-obatan dan benih tanaman pangan misalnya.
"Kalau kita masuk WTO, kita nggak bisa bermain, enggak bisa memproteksi apakah tarif atau non tarif. Kalau kita keluar dari WTO kita bisa melaksanakan mandat Undang-Undang," paparnya.
IGJ menawarkan solusi agar Indonesia tampil untuk mengambil peran penting dan mulai menggunakan ekonomi alternatif. Indonesia sangat kaya akan sumber daya alam yang terbentang dari pulau ke pulau, sehingga pemenuhan kebutuhan bisa dicapai melalui keterhubungan antar pulau. Apalagi Indonesia dapat memanfaatkan peran strategisnya sebagai Ketua G33, group negara-negara berkembang.
"Kenapa enggak berpikir melakukan konektivitas antar pulau, bagaimana kekayaan alam mendukung satu dengan yang lain pulau," tandasnya.
Masyarakat Indonesia banyak kehilangan kesempatan kerja, sehingga negeri ini dipaksa untuk mengekspor barang mentah ke luar negeri. Akibatnya, perusahaan nasional bangkrut dan merumahkan sebagian besar pekerjaannya.
Demikian disampaikan Executive Director Indonesia for Global Justice (IGJ) M. Riza Damanik dalam rangka menyambut Konferensi Tingkat Menteri WTO ke-9 di Bali, Desember mendatang.
"Masyarakat, petani dan UMKM akan kehilangan pasar yang berkeadilan," ujar Riza di kantornya, Jakarta, Jumat (10/5).
Oleh karena itu, gagalnya Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu dalam seleksi calon Direktur Jenderal (Dirjen) WTO akhir bulan lalu dapat dimanfaatkan sebagai momen untuk segera menjauh dari organisasi perdagangan dunia itu. Tampil di depan dengan mengusung ekonomi alternatif jauh akan lebih menguntungkan Indonesia dibanding mengikuti standar WTO.
Menurut Riza, keluar dari WTO akan berimplikasi positif bagi tumbuhnya ekonomi domestik. Pasalnya, Indonesia dapat menentukan kebijakan sendiri tanpa bayang-bayang dari WTO yang dikenal dengan tiga perjanjian besar mengikat berkaitan dengan barang, jasa dan Hak Kekayaan Ilmiah.
Di sektor barang, WTO mengharuskan untuk menghapuskan segala tarif atau non tarif untuk barang impor. Dari sektor jasa, lebih kepada market akses. Dia tidak berbicara tarif, namun lebih kepada tidak ada pembatasan dalam 4 karakter berikut, jasa perpindahan barang, wisatawan, perusahaan jasa dan tenaga kerja.
Kemudian dari sektor perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI), WTO dengan dalih standar tinggi membuat banyak hasil temuan ilmiah tidak dapat dengan serta merta dinikmati masyarakat secara mudah dan murah. Bahkan untuk mendapatkan hasil dari sebuah temuan harus membayar dengan harga mahal, seperti obat-obatan dan benih tanaman pangan misalnya.
"Kalau kita masuk WTO, kita nggak bisa bermain, enggak bisa memproteksi apakah tarif atau non tarif. Kalau kita keluar dari WTO kita bisa melaksanakan mandat Undang-Undang," paparnya.
IGJ menawarkan solusi agar Indonesia tampil untuk mengambil peran penting dan mulai menggunakan ekonomi alternatif. Indonesia sangat kaya akan sumber daya alam yang terbentang dari pulau ke pulau, sehingga pemenuhan kebutuhan bisa dicapai melalui keterhubungan antar pulau. Apalagi Indonesia dapat memanfaatkan peran strategisnya sebagai Ketua G33, group negara-negara berkembang.
"Kenapa enggak berpikir melakukan konektivitas antar pulau, bagaimana kekayaan alam mendukung satu dengan yang lain pulau," tandasnya.
Langganan berita!
|