
Foto: Ilustrasi teknologi. ©2013 yuuhu.info
Oleh: Defri Putra
Yuuhu.info, Bila dikembangkan dengan benar, bukan tak mungkin nanoteknologi bisa
memberantas kemiskinan. Sayangnya, menurut ketua Komite Inovasi
Nasional, Zuhal Abdul Qadir, hal ini yang malah mandek hingga kini.
Kepada Antara (27/6), Abdul Qadir menjelaskan bahwa hingga kini, tak ada kolaborasi nyata dari para ahli dan industri dalam pengembangan nanoteknologi. Sehingga, pengentasan kemiskinan dan penciptaan lapangan pekerjaan pun terhenti hingga saat ini.
Padahal, sebenarnya lewat nanoteknologi ini, peluang terbukanya lapangan pekerjaan makin banyak. Hal ini dikarenakan industri ini menghasilkan produk-produk teknologi berukuran nano atau satu per miliar meter.
Dengan produk teknologi sebesar itu, tentunya sangat mudah untuk diakses semua lapisan masyarakat. Selain itu, hal ini juga bisa diaplikasikan ke banyak sektor
Mandeknya perkembangan nanoteknologi sendiri dikarenakan ketersediaan dana yang minim. Zuhal Abdul Qadir yang juga Rektor Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) menjelaskan bahwa hingga saat ini hanya ada dana sebesar USD 3 juta saja untuk pengembangan nanoteknologi selama lima tahun.
"Itu juga tak terlepas dari penyediaan dana riset nanoteknologi yang minim, hanya tiga juta dolar AS dalam lima tahun, sehingga pengembangan nanoteknologi jalan di tempat. Bukan kami mau nya besar banget. Tapi ya realistis saja lah, tidak sekecil itu," katanya.
Di China, Korea Selatan, dan India sendiri, lanjut Zuhal, nanoteknologi sudah berkembang pesat. Bahkan penggunaannya tersebar di berbagai sektor seperti bidang pertanian, kesehatan, energi, dan lainnya.
Indonesia sendiri bukannya tak bisa mengembangkan teknologi sebesar telapak tangan ini. Pasalnya, kita memiliki para ahli yang siap untuk mengembangkan itu semua.
Hanya saja, kembali pada peran pemerintah dan industri besar. Jika ada dukungan, maka nanoteknologi nasional sangat bisa berkembang.
"Industri dan BUMN yang dekat dengan nanotek, sekarang sendiri-sendiri, ahlinya kerja sendiri, industrinya berupaya sendiri," ujar dia.
Maka, KIN, lanjutnya sekarang berupaya untuk mengambil inisiatif. Salah satu caranya adalah dengan Kamar Dagang dan Industri (Kadin).
Lewat kerjasama ini, nantinya akan diidentifikasi produk-produk nanoteknologi apa saja yang diimpor selama ini. Dari sini, akan dilihat mana saja yang sebenarnya bisa diproduksi di dalam negeri sehingga para pengembang nanoteknologi nasional bisa diberdayakan.
Kepada Antara (27/6), Abdul Qadir menjelaskan bahwa hingga kini, tak ada kolaborasi nyata dari para ahli dan industri dalam pengembangan nanoteknologi. Sehingga, pengentasan kemiskinan dan penciptaan lapangan pekerjaan pun terhenti hingga saat ini.
Padahal, sebenarnya lewat nanoteknologi ini, peluang terbukanya lapangan pekerjaan makin banyak. Hal ini dikarenakan industri ini menghasilkan produk-produk teknologi berukuran nano atau satu per miliar meter.
Dengan produk teknologi sebesar itu, tentunya sangat mudah untuk diakses semua lapisan masyarakat. Selain itu, hal ini juga bisa diaplikasikan ke banyak sektor
Mandeknya perkembangan nanoteknologi sendiri dikarenakan ketersediaan dana yang minim. Zuhal Abdul Qadir yang juga Rektor Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) menjelaskan bahwa hingga saat ini hanya ada dana sebesar USD 3 juta saja untuk pengembangan nanoteknologi selama lima tahun.
"Itu juga tak terlepas dari penyediaan dana riset nanoteknologi yang minim, hanya tiga juta dolar AS dalam lima tahun, sehingga pengembangan nanoteknologi jalan di tempat. Bukan kami mau nya besar banget. Tapi ya realistis saja lah, tidak sekecil itu," katanya.
Di China, Korea Selatan, dan India sendiri, lanjut Zuhal, nanoteknologi sudah berkembang pesat. Bahkan penggunaannya tersebar di berbagai sektor seperti bidang pertanian, kesehatan, energi, dan lainnya.
Indonesia sendiri bukannya tak bisa mengembangkan teknologi sebesar telapak tangan ini. Pasalnya, kita memiliki para ahli yang siap untuk mengembangkan itu semua.
Hanya saja, kembali pada peran pemerintah dan industri besar. Jika ada dukungan, maka nanoteknologi nasional sangat bisa berkembang.
"Industri dan BUMN yang dekat dengan nanotek, sekarang sendiri-sendiri, ahlinya kerja sendiri, industrinya berupaya sendiri," ujar dia.
Maka, KIN, lanjutnya sekarang berupaya untuk mengambil inisiatif. Salah satu caranya adalah dengan Kamar Dagang dan Industri (Kadin).
Lewat kerjasama ini, nantinya akan diidentifikasi produk-produk nanoteknologi apa saja yang diimpor selama ini. Dari sini, akan dilihat mana saja yang sebenarnya bisa diproduksi di dalam negeri sehingga para pengembang nanoteknologi nasional bisa diberdayakan.

Langganan berita!
|