Foto:
. ©2013 yuuhu.info
Oleh: Dion
Yuuhu.info, Bagi anda pecinta bakso mungkin tidak asing lagi dengan pedagang bakso
yang mayoritas berasal dari Jawa, tepatnya Jawa Tengah. Tidak jarang
pula para pedagang bakso tersebut melayani kita dengan bahasa Jawa yang
kental. Benar sekali, pedagang bakso ternyata sudah turun temurun
mayoritas berasal Wonogiri dan Solo.
Salah seorang pedagang bakso yang bernama Sumarno mengaku telah berdagang bakso selama 20 tahun di Jakarta. Dia berdagang bakso juga meneruskan usaha kakaknya yang ternyata telah lebih dulu telah berjualan di Jakarta. Sumarno sendiri berasal dari solo.
Para pedagang bakso dari Solo maupun Wonogiri ini kebanyakan ternyata tergabung atau dinaungi dalam sebuah paguyuban pedagang bakso. Paguyuban ini adalah wadah silaturrahmi bagi pedagang bakso suatu daerah untuk saling membantu satu sama lainnya. Menurut Sumarno, pedagang bakso besar yang berasal dari Solo maupun Wonogiri mayoritas ikut dalam paguyuban tersebut.
"Biasanya pedagang bakso besar ikut paguyuban, itu buat silaturrahmi dan ada arisan juga," ucap Sumarno ketika berbincang dengan merdeka.com di warung baksonya di bilangan Pasar Minggu, Jakarta, Jumat (14/6).
Arisan yang digelar para pedagang bakso dalam satu paguyuban ini mencapai Rp 1 juta. Tidak hanya arisan, Paguyuban ini juga punya uang tabungan dan infak yang nantinya digunakan untuk keperluan pedagang bila mengalami kesusahan. Paguyuban ini menurutnya wadah yang sangat membantu tanpa motif ekonomi, melainkan motif ikatan persaudaraan yang berlandaskan kasih sayang.
Paguyuban ini terbentuk dari rasa persaudaraan berjualan yang berasal dari satu kampung. Pedagang bakso kecil sebelum menjadi menjadi besar biasanya tinggal di satu wilayah bahkan satu tempat kos-kosan di daerah tertentu. Dari sana ikatan persaudaraan menjadi tajam.
"Ngumpul bisa dua minggu sekali, dan itu banyak pedagangnya. Kadang ada yang sakit kita bantu, pakai uang yang hasil ngumpul itu," jelasnya.
Namun demikian, menurut Sumarno ada juga pedagang bakso yang tidak ikut anggota paguyuban. Kebanyakan adalah pedagang bakso dengan gerobak kecil. Terkadang ada juga pedagang bakso yang hidup dan mencari nafkah sendiri di negeri orang. "Ada juga yang sendiri saja, cari tempat tinggal sendiri dan dorong gerobak sendiri cari tempat," ceritanya.
Penelusuran merdeka.com, adanya paguyuban ini ternyata memang sangat membantu pedagang bakso. Waktu dulu, ketika beredar isu bakso yang mengandung formalin, ketua paguyuban menyuarakan kepentingan tukang bakso yang merasa dirugikan dengan isu tersebut.
Waktu itu, Ketua paguyuban pedagang Bakso Gajah Mungkur Wonogiri se-Jakarta Raya meminta kepada pemerintah, khususnya kepada BPOM, untuk menerbitkan sertifikasi bebas formalin terhadap mi basah dan daging bakso yang dijual kepada pedagang. Paguyuban tersebut meminta BPOM meyakinkan masyarakat agar mempercayai, bahwa mi basah dan bakso yang dikonsumsi adalah bebas formalin.
Salah seorang pedagang bakso yang bernama Sumarno mengaku telah berdagang bakso selama 20 tahun di Jakarta. Dia berdagang bakso juga meneruskan usaha kakaknya yang ternyata telah lebih dulu telah berjualan di Jakarta. Sumarno sendiri berasal dari solo.
Para pedagang bakso dari Solo maupun Wonogiri ini kebanyakan ternyata tergabung atau dinaungi dalam sebuah paguyuban pedagang bakso. Paguyuban ini adalah wadah silaturrahmi bagi pedagang bakso suatu daerah untuk saling membantu satu sama lainnya. Menurut Sumarno, pedagang bakso besar yang berasal dari Solo maupun Wonogiri mayoritas ikut dalam paguyuban tersebut.
"Biasanya pedagang bakso besar ikut paguyuban, itu buat silaturrahmi dan ada arisan juga," ucap Sumarno ketika berbincang dengan merdeka.com di warung baksonya di bilangan Pasar Minggu, Jakarta, Jumat (14/6).
Arisan yang digelar para pedagang bakso dalam satu paguyuban ini mencapai Rp 1 juta. Tidak hanya arisan, Paguyuban ini juga punya uang tabungan dan infak yang nantinya digunakan untuk keperluan pedagang bila mengalami kesusahan. Paguyuban ini menurutnya wadah yang sangat membantu tanpa motif ekonomi, melainkan motif ikatan persaudaraan yang berlandaskan kasih sayang.
Paguyuban ini terbentuk dari rasa persaudaraan berjualan yang berasal dari satu kampung. Pedagang bakso kecil sebelum menjadi menjadi besar biasanya tinggal di satu wilayah bahkan satu tempat kos-kosan di daerah tertentu. Dari sana ikatan persaudaraan menjadi tajam.
"Ngumpul bisa dua minggu sekali, dan itu banyak pedagangnya. Kadang ada yang sakit kita bantu, pakai uang yang hasil ngumpul itu," jelasnya.
Namun demikian, menurut Sumarno ada juga pedagang bakso yang tidak ikut anggota paguyuban. Kebanyakan adalah pedagang bakso dengan gerobak kecil. Terkadang ada juga pedagang bakso yang hidup dan mencari nafkah sendiri di negeri orang. "Ada juga yang sendiri saja, cari tempat tinggal sendiri dan dorong gerobak sendiri cari tempat," ceritanya.
Penelusuran merdeka.com, adanya paguyuban ini ternyata memang sangat membantu pedagang bakso. Waktu dulu, ketika beredar isu bakso yang mengandung formalin, ketua paguyuban menyuarakan kepentingan tukang bakso yang merasa dirugikan dengan isu tersebut.
Waktu itu, Ketua paguyuban pedagang Bakso Gajah Mungkur Wonogiri se-Jakarta Raya meminta kepada pemerintah, khususnya kepada BPOM, untuk menerbitkan sertifikasi bebas formalin terhadap mi basah dan daging bakso yang dijual kepada pedagang. Paguyuban tersebut meminta BPOM meyakinkan masyarakat agar mempercayai, bahwa mi basah dan bakso yang dikonsumsi adalah bebas formalin.
Langganan berita!
|