BIOGRAFI
Bondan Winarno, atau yang akrab disapa dengan panggilan Pak Bondan,
namanya memang mulai dikenal sejak menjadi presenter kuliner yang
mengajak pemirsa berkeliling negeri, bahkan luar negeri, untuk mencicipi
sajian khas di tiap daerah. Tagline "pokok'e maknyus" membuat sosok ini
makin terkenal.
Namun, sosok pria kelahiran Surabaya ini hendaknya tak dipandang
hanya sebagai ahli kuliner. Pengalaman hidupnya jauh lebih beragam
daripada sekedar icip-icip masakan nikmat dari satu restoran ke restoran
lain. Meski tak bisa dipungkiri, bidang satu ini tak pernah bisa jauh
dari hidupnya dan selalu melekat dalam dirinya, apapun profesi yang
dijalaninya.
Hidup dalam keluarga besar dengan 8 orang anak, Bondan kecil sudah
mengenal kuliner dari ibu yang berasal dari Madiun dan jago masak,
seperti yang diakuinya dalam berbagai wawancara. Walaupun tak merasa
dirinya anak kesayangan dalam keluarga, Bondan kecil cukup pantas
dikagumi dengan kegemarannya meraup informasi. Hobi membaca
disalurkannya dengan berlangganan berbagai majalah dan buku, termasuk
sering berkunjung ke Perpustakaan Semarang, yang sayangnya harus
dilakukannya secara sembunyi-sembunyi demi menghindari ejekan
kawan-kawan di sekolah yang menganggapnya terlalu serius.
Selepas SMA, Bondan sempat berniat melanjutkan sekolah ke Fakultas
Sastra. Sayangnya, keinginan ini ditentang oleh sang ibu yang menganggap
profesi sastrawan tidak menjanjikan. Demi orang tua, Bondan pun
mengalah dan bersekolah di Fakultas Teknik Arsitektur Universitas
Diponegoro.
Namun belum sempat selesai, Bondan sudah menjadi fotografer Puspen
Hankam di Jakarta hingga tahun 1970. Setelah itu, ia berpindah-pindah
kerja, tetapi tetap tidak lepas dari lingkup komunikasi massa. Sempat
bertugas sebagai wartawan ke berbagai negeri, antara lain ke Kenya,
Afrika. Sebagian pengalamannya dari negeri itu ia tuangkan menjadi
cerpen berjudul Gazelle, yang kemudian memenangkan hadiah pertama lomba
penulisan cerpen majalah Femina pada tahun 1984. Menulis sudah hampir
merupakan kebiasaan bagi Bondan. Ia pun bisa menulis di mana saja, di
pesawat udara, di mobil, atau bahkan di toilet.
Karir Bondan dimulai dengan menjadi seorang jurnalis, tepatnya Pimred
Majalah Swa, sebuah majalah ekonomi, di tahun 1985. Tak sampai dua
tahun, karirnya melesat ke arah berbeda, justru karena rengekan Gwen,
anaknya, yang ingin bersekolah di Amerika. Gaji sebagai jurnalis dirasa
tidak cukup, hingga Bondan berniat mencoba menjadi pengusaha.
Hal ini tak sulit dicapainya, terutama karena kesempatan yang
diberikan pengusaha muda Sutrisno Bachir. Dengan ujian perjanjian bisnis
di Jepang yang berhasil dilakoni Bondan dengan sangat baik, pria ini
akhirnya berkesempatan untuk mengepalai cabang perusahaan seafood yang
berlokasi di Amerika.
Setelah sempat berbisnis dan tinggal di Los Angeles dan Seatlle, pria
yang bergelar Pangeran Raden Haryo Mangkudiningrat ini menyadari dunia
ini tak sesuai untuknya. Bondan kembali ke Indonesia tanpa membawa Gwen,
yang meneruskan sekolah di Amerika. Di Indonesia, Bondan kembali
menekuni dunia yang dicintainya, jurnalisme.
Namanya tercatat sebagai jurnalis di berbagai media, seperti Kompas,
Matra, Asian Wall Street Journal, Far Eastern Economic Review, Jakarta
Post, Kompas, Bisnis Indonesia, Kontan, Swa, Suara Pembaruan, dan
Detik.com. Selain itu, Bondan juga dikenal sebagai penulis cerpen dan
wartawan investigatif. Karyanya, Bre-X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi
membawa kesuksesan baginya, yang sayangnya tak berlangsung lama. Buku
Bondan dilarang terbit setelah dirinya dipanggil oleh salah satu
pejabat.
Kematian ayah dan kakak di usia muda membawa duka sekaligus niatan
baru untuk Bondan. Dirinya pun memutuskan untuk menjalani masa pensiun
sebagai pengusaha dan jurnalis, banting setir ke dunia kuliner. Dengan
alasan keseimbangan hidup, Bondan resmi pensiun setelah kontraknya
sebagai Pimred Suara Pembangunan habis setelah 3 tahun.
Dunia kuliner 'menemukannya' di tahun 2000. berkat tawaran Ninok
Leksono, Bondan mulai menjadi penulis rubrik Pariwisata untuk Cyber
Media. Lambat laun, tulisan Bondan mulai fokus di dunia kuliner yang
ditayangkannya di kolom Jalasutra, yang kini telah memiliki lebih dari
8.000 anggota di seluruh dunia. Tulisannya seputar kuliner sempat
dipandang sebelah mata, mengingat dirinya dulu berprofesi sebagai
penulis bidang ekonomi dan investigasi yang cukup mumpuni. Mendengar
kritik ini, Bondan tak menganggapnya serius, karena baginya, kedua
profesi ini sama terhormatnya karena keduanya dilakukan dengan serius
demi menghasilkan karya terbaik.
Tahun 2005 adalah awal karirnya di dunia hiburan. Digaet oleh PT
Unilever, Bondan melahirkan program Bango Cita Rata Nusantara dengan
visi berusaha mempopulerkan pusaka kuliner Indonesia. Komentar 'mak
nyus' mulai menjadi ciri khasnya, walau tak diakuinya sebagai
'trade-mark'. Ungkapan ini 'dipinjamnya' dari Umar Kayam, yang sering
melontarkan ungkapan yang sama tiap kali menyantap hidangan lezat.
Setelah 15 bulan menjadi presenter Bango Cita Rata Nusantara, pria yang
gemar memasak di rumah untuk keluarga besarnya ini memutuskan untuk
mundur.
Tak lama, Bondan kembali digaet Trans TV untuk menjadi pembawa acara
program Wisata Kuliner. Berbagai pengalaman berharga tak hanya dialami
Bondan, namun juga para kru yang harus bekerja sama dengannya di
berbagai daerah, juga para fans yang setia mengikuti perjalanan Wisata
Kuliner di seluruh penjuru negeri. Kerja keras dan kedisplinan Bondan
sangat dihafal para kru, yang juga menunjukkan bahwa Bondan adalah sosok
yang begitu profesional dan cerdas. Walau sudah menjadi selebriti, pria
ini mengaku tak terbiasa dengan kehadiran para penggemar, bahkan sering
terganggu dengan mereka yang kurang sopan.
Namun, saat berada di puncak popularitas, Bondan sekali lagi memilih
berhenti dan mundur. Dirinya berniat menikmati hidup bersama keluarga
dengan berwisata ke berbagai daerah. Hal ini tak berarti Bondan lantas
menganggur. Kakek enam cucu ini masih berencana menciptakan sebuah
program motivator demi pengembangan diri yang diharapkan akan membantu
peningkatan kualitas individu.
Riset dan analisa oleh Ellyana Mayasari.