Yuuhu.info, Banyak orang yang jago, ahli dan menguasai bidang kerjanya, mengeluh
“suara”-nya tidak didengar atau bahkan kehadirannya disepelekan oleh
rekan kerja lainnya.
Seorang karyawan, Ani, dengan nada frustrasi
mengeluh, “Soal pengalaman dan hasil pekerjaan, saya lebih baik. Namun,
rekan saya yang hasil kerjanya tidak hebat-hebat amat, lebih didengar.
Dengan situasi ini, kecil kemungkinan saya bisa dipromosikan jadi
manager.”
Lain lagi Ari, yang bekerja di perusahaan konsultan
global terkenal. Proyek-proyeknya sangat penting. Dan, karena
kesuksesannya, ia sering diminta menjadi pembicara di berbagai seminar.
“Tapi, mengapa ya, saya punya ‘
feeling’ bahwa orang tidak mengerti apa yang saya terangkan dan tidak mem-
'buy in' apa yang saya anjurkan?”
Bila
kita amati, memang banyak sekali masalah "pengaruh" di sekitar kita.
Otoritas, pengangkatan seseorang menjadi direktur, manajer, ataupun
pejabat sekalipun, tidak menjamin ia bisa diterima, disayang, di-“
buy in” atau juga dikenang oleh orang di sekitarnya. Kita bisa patuh tanpa "suka" pada pemimpin kita.
Masyarakat
memang bebas membeli simpati pada tokoh yang dipilihnya. Kita melihat
banyak upaya pejabat untuk mengembangkan pencitraan dan kedekatan dengan
rakyatnya. Kadang, semakin besar upayanya, malah semakin buruk
pencitraannya. Setiap ungkapan, foto, bahkan pesan
twitter-nya dikomentari negatif oleh masyarakat.
Sebaliknya,
beberapa waktu lalu, kita melihat bagaimana orang berbondong-bondong,
mengantarkan Ustadz Jeffrey ke tempat peristirahatan terakhirnya. Dari
berbagai penjuru lokasi, orang-orang datang untuk menyembahyangkan
jenazahnya, mengingat-ingat kebaikannya. Seolah-olah tidak seorang pun
punya keinginan untuk cepat-cepat menghilangkan kenangan almarhum dari
benak dan kehidupannya. Bahkan kerendahan hatinya, keinginan beliau
untuk tidak menonjol pun, malah menjadi "
signature voice"-nya.
Terasa benar ia “dekat”, disayang, dan “hadir” di hati masyarakat.
Hampir-hampir, tidak ada satu media pun yang menyebut-nyebut hal negatif
mengenai Uje. Apa yang sudah dilakukan almarhum? Mengapa ia begitu
dekat di hati?
Kita tahu tidak sedikit orang memoles
“tongkrongan” untuk meningkatkan pengaruh. Namun, sebaliknya, kita
melihat tokoh yang tidak punya "tongkrongan", seperti contohnya Ibu
Teresa, bisa memimpin barisan relawan yang jumlahnya beribu-ribu orang,
disayang, direspek, diikuti, sama berpengaruhnya seperti wanita besi,
Margareth Thatcher.
Apa yang membuat pemimpin mempunyai keberadaan
kuat seperti ini? Apa yang membuat pengikut jatuh cinta pada
pemimpinnya? Apa yang membuat bawahan mengagumi dan percaya pada apa
yang dinyatakan pemimpinnya?
Pendapat bahwa karakter yang
merupakan "bawaan" kepribadian, sangat menentukan pengaruh, tidak selalu
benar, karena orang yang pendiam, kecil tidak keren pun terkadang bisa
berpengaruh. Berarti benar,
some things need to be believed to be seen, kata orang.
“Earned authority”
Dari
beberapa contoh, kita bisa belajar bahwa otoritas pengikut atau
masyarakat seringkali diperoleh seorang pemimpin setelah ia membuktikan
“harga”-nya di depan mata-kepala pengikutnya, bukan karena cerita atau
kata-kata. Banyak orang mengatakan bahwa pemimpin harus menjadi model,
contoh bagi pengikutnya. Namun, seringkali hal itu pun masih tidak
cukup.
Kita bisa melihat bahwa pamor yang dipancarkan seorang
pemimpin benar-benar datang dari tingkah lakunya. Bila individu
betul-betul serius ingin mengembangkan kedekatan dan pengaruhnya, ia
mesti terlihat menciptakan hal-hal yang baik, bahkan perlu membuktikan
kemampuannya menghadapi situasi-situasi sulit, berkonflik, dan mendesak.
Melalui
situasi seperti itulah orang bisa menyaksikan obsesi, standar, dan
fokus kita sebagai pemimpin. Melalui situasi sehari-harilah orang
mengetahui bagaimana kita meng-
approach orang lain, berbicara secara tulus dan jujur, dan bagaimana kita menyalurkan emosi kita secara positif.
Kita
tentu pernah mendengar cerita Bung Karno yang rutin mengunjungi
rumah-rumah pegawai istana dan menyomot tempe goreng masakan dari dapur
rumah pegawai. Bila kita telaah, sebetulnya banyak hal yang bisa
dilakukan untuk menunjukkan kita “hadir” untuk tim.
Kepala pabrik, bisa melakukan
briefing harian
di lapangan dan kemudian berkeliling pabrik untuk menegur dan menyapa
bawahan. Kepala sekolah, kadang perlu berdiri di gerbang masuk, memberi
salam pagi pada setiap murid. CEO pun bisa memilih untuk tidak berada di
ruangan terpisah, makan siang di kantin, bisa disapa dan didatangi
siapa saja.
Semua tingkah laku ini adalah contoh bagaimana orang
bisa memancarkan pamornya yang didasari ketulusan, nilai-nilai yang
jelas, dan keyakinan diri. Tidak ada kekhawatiran bahwa kedekatan
membuat anak buah “kurang ajar”. Tidak ditemui juga niat untuk “jaga
image”.
Bisa kita bayangkan, bagaimana reaksi para
follower bila
pemimpin seperti ini mengajak untuk melakukan sesuatu. Otoritas tidak
penting di sini, otoritas seolah sudah mengalir dalam diri pemimpinnya.
Hadir “apa adanya”
Membaur dengan bawahan atau rakyat, bukan berarti kita benar-benar "menyamakan" diri. Sebagai
leader,
kita mempunyai kewajiban memberi arah. Namun, dari pengalaman
menghadapi satu situasi bersama, bawahan akan merekatkan perasaannya
pada
leader-nya. Itu sebabnya, mau tidak mau, pemimpin perlu berhati-hati dalam tindakannya.
Pemimpin
perlu memiliki ketajaman persepsi dan kesiapan ekstra. Kesalahan atau
masalah, perlu ditangani dengan bijaksana, tidak diulang. Bahkan, orang
lain perlu menyaksikan bahwa kita sebagai pemimpin memiliki jiwa
pembelajar dan berguru pada pengalaman. Walau kita tahu bahwa pemimpin
perlu mempunyai visi dan pandangan jauh ke depan, orientasi "
here and now"-nya tetap harus kuat.
Keberadaan pemimpin sangat berpengaruh pada spirit anak buah, untuk itu ia perlu hadir dalam proses “
being in the zone”.
Jadi, seorang pemimpin tidak bisa membiarkan dirinya tidak tahu
apa-apa, apalagi mengatakan bahwa saat kesalahan terjadi, ia kebetulan
tidak hadir di situ.
Tindakan seperti ini bukan sekadar menandakan
tidak bertanggung jawabnya seorang pemimpin, tapi juga
ketidakmampuannya untuk berlaku sebagai pemimpin. Pemimpin perlu
bertindak apa adanya, merasa
comfortable dengan dirinya,
sehingga membiarkan dirinya terekspresikan apa adanya. Kita perlu ingat,
kehadiran bukan suatu respons melainkan suatu pancaran yang dirasakan
orang lain, secara kontinyu. Bukan sekali-sekali.
(Eileen Rachman/Sylvina Savitri, EXPERD Consultant)